Korupsi Dan Suap Sebagai Masalah Besar Di Indonesia – Praktik suap dan korupsi telah menjadi isu yang mengakar dalam dalam masyarakat Indonesia. Fenomena ini bukan hanya menjadi masalah hukum. Tetapi juga telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik negara kita.
Sebagai warga negara yang peduli akan masa depan bangsa, saya merasa perlu untuk menyuarakan keprihatinan dan pandangan saya mengenai masalah yang telah banyak dinormalisasikan oleh masyarakat ini.
Mengatasi Korupsi Dan Suap Upaya Penting Untuk Indonesia Yang Lebih Baik
Pertama-tama, mari kita pahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan suap. Dalam kamus hukum Black’s Law Dictionary, penyuapan diartikan sebagai tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum.
Tindakan ini merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi, di mana seseorang memberikan sesuatu, baik berupa uang, barang, atau bentuk lainnya, kepada pejabat atau orang yang memiliki wewenang dengan tujuan untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan pejabat tersebut demi keuntungan pribadi si pemberi suap. Sementara itu, korupsi memiliki cakupan yang lebih luas, meliputi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Namun, kedua hal ini sama-sama dapat memberikan dampak negative yang signifikan bagi kehidupan bermasyarakat.
Dalam konteks hukum di Indonesia, praktik suap dan korupsi telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa suap dan berbagai bentuk korupsi lainnya merupakan tindak pidana yang dapat dikenai sanksi hukum.
Namun, meskipun kerangka hukum telah ada, implementasi dan penegakannya masih jauh dari sempurna. Praktik suap dan korupsi di Indonesia telah menjadi semacam “budaya” yang sulit diberantas.
Dari level grassroot hingga tingkat elite, dari urusan kecil seperti pengurusan KTP hingga proyek-proyek besar pemerintahan, suap seringkali dianggap sebagai “pelumas” untuk memperlancar proses.
Mari kita lihat beberapa contoh kasus korupsi besar yang telah mengguncang negeri ini. Kasus e-KTP yang merugikan negara hingga 2,3 triliun rupiah sekitar tahun 2011-2012 menjadi salah satu contoh betapa masifnya dampak korupsi.
Dalam kasus ini, dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik justru digelapkan oleh sekelompok elit politik dan birokrat. Namun terdapat bagian yang saya sayangkan dari amar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim terhadap Setya Novanto.
Kasus Setya Novanto Terjerat Kasus Korupsi Serta Pidana
Dalam amar yang ke-6, Setya Novanto dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik selama 5 (lima ) tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.
Hal ini jelas membuka ruang bagi Setya Novanto untuk kemudian terlibat aktif lagi sebagai politikus walaupun tidak di partai terkait setelah melakukan tindakan yang merugikan Negara dalam jumlah yang sangat besar.
Belum lagi kasus Bank Century yang menelan dana talangan sebesar 6,7 triliun rupiah pada tahun 2008, atau skandal Jiwasraya yang merugikan negara hingga 16,81 triliun rupiah. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi mencerminkan betapa besar potensi pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang telah dirampas oleh para koruptor.
Dan yang baru terjadi adalah kasus hakim DS yang terbukti menerima suap sebesar 300 juta. Ketika mengadili perkara yang menjerat mantan Wali Kota Kediri Samsul Ashar di PN Surabaya. Kasus ini berawal saat DS menjadi ketua majelis hakim di PN Surabaya. Yang menyidangkan terdakwa mantan Wali Kota Kediri (Alm) Samsul Ashar karena terlibat tindak pidana korupsi proyek pembangunan Jembatan Brawijaya Kota Kediri pada 2021.
Samsul Ashar dituntut 12 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU). Namun, Samsul Ashar kemudian divonis 4 tahun 6 bulan penjara. Atas hal ini, DS mendapatkan sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat.
Namun, perlu diketahui bahwa kasus seperti ini bukan hanya terjadi dalam skala besar di tingkat pusat. Di tingkat daerah, kita sering mendengar kasus-kasus kepala daerah yang terjerat korupsi.
Sebut saja kasus suap impor daging sapi yang melibatkan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Atau kasus korupsi pengadaan alat kesehatan yang menjerat mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa korupsi telah menyebar ke berbagai level pemerintahan, dari pusat hingga daerah.
Kesimpulan Menarik Mengenai Kasus Suap Dan Korupsi Di Indonesia
Lalu, apa sebenarnya dampak dari semua ini? Korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga memiliki dampak yang luas dan mendalam terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, atau perbaikan sistem pendidikan, justru masuk ke kantong pribadi para koruptor. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat tidak kunjung membaik, kesenjangan sosial semakin melebar, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin menurun.
Bahkan hal ini juga bisa menjadi cikal penyebab semakin maraknya tindakan kriminalitas di Indonesia. Lebih dari itu, korupsi juga menciptakan distorsi dalam sistem ekonomi. Ketika suap menjadi “biaya tambahan” dalam berbisnis.
Hal ini akan meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen. Akibatnya, daya saing produk nasional menurun, investasi terhambat, dan pertumbuhan ekonomi melambat.