Jangan Panik! Ini Fakta di Balik Hoaks Difteri Jajanan Anak

Jangan Panik! Ini Fakta di Balik Hoaks Difteri Jajanan Anak – Beberapa hari terakhir, dunia maya dihebohkan dengan kabar bahwa ratusan anak di Jakarta terinfeksi difteri akibat mengonsumsi jajanan cabai kering yang disebut-sebut terkontaminasi urine tikus. Kabar ini menyebar cepat di berbagai platform media sosial dan grup percakapan, memicu kepanikan di kalangan orang tua dan masyarakat umum.

Pesan berantai itu menyebutkan bahwa jajanan ringan berbumbu cabai kering, yang banyak dijual di sekitar sekolah, menjadi biang kerok wabah difteri di ibu kota. Beberapa klaim bahkan menyebutkan bahwa jajanan tersebut telah dites dan ditemukan mengandung bakteri berbahaya akibat terpapar kencing tikus.

Namun, benarkah informasi tersebut? Ataukah ini hanya salah satu dari sekian banyak hoaks yang menyesatkan masyarakat? Untuk menjawabnya, kita perlu meninjau fakta ilmiah dan klarifikasi dari pihak berwenang.

Klarifikasi dari Kemenkes dan Pakar Kesehatan

Menanggapi kepanikan yang meluas, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dengan tegas menyatakan bahwa informasi mengenai difteri akibat jajanan cabai kering adalah hoaks alias tidak benar. Hingga saat ini, tidak ada bukti ilmiah atau laporan resmi yang menunjukkan keterkaitan antara konsumsi jajanan tersebut dan kasus infeksi difteri.

Menurut dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid., juru bicara Kemenkes, difteri merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dan umumnya menyebar melalui droplet dari saluran pernapasan, bukan dari makanan. Penularan biasanya terjadi lewat batuk, bersin, atau kontak langsung dengan penderita.

“Kami tegaskan, kabar tersebut tidak benar. Difteri bukan penyakit yang ditularkan lewat makanan. Masyarakat diimbau agar tidak mudah percaya informasi yang belum jelas sumbernya,” kata dr. Nadia.

Sementara itu, ahli mikrobiologi dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. drh. Wiku Adisasmito, juga menyatakan bahwa meskipun urine tikus memang dapat mengandung berbagai bakteri berbahaya seperti Leptospira, tidak ada keterkaitan antara urine tikus dan bakteri penyebab difteri.

“Cabai kering yang terpapar urine tikus memang berpotensi menyebabkan penyakit, tapi bukan difteri. Masyarakat perlu membedakan antara isu kontaminasi makanan dan jenis penyakit yang ditimbulkan,” jelasnya.

Masyarakat Perlu Lebih Kritis Terhadap Informasi

Fenomena penyebaran hoaks kesehatan bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam banyak kasus, informasi palsu menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Ini menunjukkan pentingnya literasi media dan kesehatan di tengah masyarakat.

Pakar komunikasi publik, Devie Rahmawati dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa hoaks seperti ini menyebar cepat karena menyentuh isu sensitif: anak-anak, penyakit, dan makanan. Ketiganya memicu reaksi emosional yang besar dan membuat masyarakat cepat bereaksi tanpa mengecek kebenarannya.

“Masyarakat perlu membiasakan diri untuk mengecek informasi melalui sumber resmi seperti situs Kemenkes, WHO, atau media terpercaya. Jangan langsung percaya dan menyebarkan ulang pesan yang belum terverifikasi,” ujarnya.

Di sisi lain, orang tua juga disarankan untuk lebih memantau jajanan yang dikonsumsi anak-anak, namun bukan karena isu difteri. Lebih pada kualitas kebersihan, izin edar dari BPOM, dan kandungan gizi jajanan tersebut.

Kesimpulan

Hoaks mengenai ratusan anak terinfeksi difteri akibat jajanan cabai kering yang terkontaminasi urine tikus adalah tidak benar dan telah dibantah oleh Kemenkes serta para pakar kesehatan. Difteri merupakan penyakit yang ditularkan lewat droplet saluran pernapasan, bukan makanan. Meskipun kewaspadaan terhadap kebersihan makanan tetap penting, masyarakat diimbau untuk tidak panik berlebihan dan selalu memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Tingkatkan literasi informasi dan jadilah masyarakat yang kritis terhadap berita yang beredar, terutama yang berkaitan dengan kesehatan publik.

Scroll to Top